Aku pun Begitu Cinta
Senja belum merah benar, dan Alin telah duduk menikmatinya seperempat
jam yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk sebuah kesendirian apalagi dililit
rasa penasaran. Dika, cowok yang bermata nyalang yang telah menemaninya
menikmati hari-hari penuh cinta sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di
Sekolah ini. Setahun yang lalu. Waktu yang juga dibilang singkat untuk sebuah
jalinan asmara. Tapi toh, hari-hari setahun itu tak pantas disebut hari-hari
biru.
“Maaf, aku telat!”
Telat! Ah rasanya hal itu tak perlu dipermasalahkan lagi, apalagi untuk
tidak memaafkannya. Bukankah itu kebiasaan Dika yang terkadang membawa
pertengkaran kecil yang meluap menjadi masalah yang menguras air mata.
“Aku ingin tahu apa maksud kamu mengajak aku ke sini?” Ucap Alin ingin
mengakhiri rasa penasarannya, meaki dia harus meyakinkan dirinya, sebenarnya
Dika mengajak bertemu untuk mengungkapkan rasa penyelesaiannya, meminta kata
maafnya. Ya seperti sebelumnya yang telah dia lakukan setiap mereka
terpisah oleh pertengkaran.
“Salahkah bila aku mengajak kamu untuk bertemu seperti saat sekarang
ini?” Katanya tanpa melepaskan tatapan.
“Bukankah kita telah…”
“Yah, kita memang telah sepakat untuk berpisah. Tapi coba kita tanya
hati kita masing-masing, tuluskah kita akan kesepakatan itu?”
“Bagiku tulus atau tidak. Itu harus dijalani” Tegas Alin.
“Kamu takut mencoba untuk…”
“Mencoba?” Alin agak sinis meski dalam hatinya tak tega untuk melakukan
hal seperti itu terhadap Dika.
Alin memang takut untuk mencoba. Mencoba untuk menjalin kembali rajutan
yang telah terlerai karena keegoan masing-masing. Dan sakitnya lagi, saat
rajutan itu terlerai demi harga diri, mereka selalu menghadirkan orang lain
sebagai orang ketiga untuk memanas-manasi, bukan untuk dicintai.
Bukan hanya sekali mereka mencoba membuka lembaran baru. Tapi lembaran
baru itu malah semakin menyakitkan. Alin sadar, hanya Dika yang ada dalam
hatinya, kalaupun akhirnya dia menghadirkan Boy, Aji, Willy dan semua yang lain
yang telah menggandengnya di depan Dika, itu bukan kekasih. Hanyalah manusia
penyelamat harga dirinya.
“Aku janji ...”
“Jangan ucapkan janji, Dika! Ingkar itu ciri kemunafikkan.”
“Tapi ini demi cinta kita.”
“Cinta kita atau cintamu, egomu?” Anin sinis lagi.
“Kamu jangan munafik, kamu juga masih cinta, bukan?”
Alin bungkam. Mencoba menelusuri lorong-lorong di hatinya. Dan memang
ada kemunafikkan disana, diantara luka hatinya yang hanya bukan sekali
ditorehkan oleh orang yang sama. Dan anehnya, luka itu tak ada artinya bila
dibandingkan dengan cinta yang dimilikinya untuk Dika.
“Aku datang untuk menebus semua kesalahan ku dengan cinta.”
“Sadarkah kamu, Dika? Ini kalimat yang keberapa kalinya kamu ucapkan
padaku?”
“Bukankah itu pertanda tak ada yang mampu menggantikanmu.”
“Kamu mungkin benar tapi itu juga berarti bahwa kamu datang untuk
membuat luka baru.”
“Jangan berfikir aku tidak merasakan luka itu. Harusnya kamu sadar, luka
itu bukan semata-mata karena kesalahanku”
Alin pun menyadari hal itu. Dan itu pula lah yang membuatnya selalu
tulus menerima Dika untuk kembali. Tapi semakin lama Alin menyadari, dan
semakin tahu pula kalau luka itu semakin parah, semakin sakit. Setiap kali dia
harus menerima kenyataan bahwa mereka harus bertengkar lagi, berpisah lagi,
terluka lagi. Sakit! Hingga tak salah jika dia harus bertekad untuk melupakan
Dika. Batinnya yang ddisusul dengan gelengan kepala sebagai tanda jawaban.
“Ku kira kisah cinta seperti ini hanya ada dicerita fiksi ataupun
dunia sinetron. Ternyata kita pun hidup di dalamnya. Dan sepertinya...”
“Dan sepertinya aku tak sanggup lagi, Dik. Aku tak kuasa lagi berperan
sebagai si bodoh dalam kehidupan kamu.” Potong Alin yang membuat Dika tersentak
Pandangan Dika nanar, menatap Alin tak percaya.
“Alin, aku mencintaimu. Sungguh! Tak pernah sedikitpun aku berniat untuk
melukaimu apalagi membodohi kamu.” Balas Dika sambil meraih jemari Alin untuk
dia genggam.
Seperti api sepuntung rokok menyundut dinding hati alin, menyaksikan
orang yang dicintainya memelas bahkan terkesan bersimpuh dihadapannya. Tanpa
diinginkannya, butiran bening bergulir dari matanya. Dika mengusap butiran
bening itu lembut sekali, seolah tak ingin meretakkan butiran bening yang telah
terlanjur luluh di pipi Alin.
“Dika, sudah gelap. Sebaiknya kita pulang.” Ajak Alin untuk lari dari
kesedihan yang kini merambat di hatinya.
Senja memang telah berlalu, yang ada hanya cahaya lampu para pedagang
kaki lima di tengah kebisingan suara tape dan deru mesin kendaraan yang lewat.
Dalam perjalanan pulang...
“Dirimu terlalu
cepat berubah sedang diriku terus mengharapkanmu. Mungkinkah terulang masa-masa
indah yang akan membawamu kembali padaku.”
Tuts!
Alin menghentikan lirik lagu milik Padi yang dilantunkan oleh Dika
dengan menekan play tape Jazz merah Dika.
Semua tak sama tak pernah sama apa yang ku sentuh apa yang ku kecup...
Tuts! Kini giliran tombol stop yang dipencet paksa oleh Alin. Baginya lagu
itu terlalu menyindir sekaligus menyakitkan. Dika tersenyum melihat tingkah
Alin seperti itu.
“Alin, seandainya masih mungkin aku kembali. Jika jalan untuk itu masih
ada, tapi di hatimu masih meragukan ketulusanku. Aku mengerti, luka itu terlalu
berat untuk kita. Aku terima!” Ucap Dika serius di balik kemudinya.
Alin tercekat mendengar ketulusan itu. Bagaimana pun, dia telah mengerti
bagaimana hidup tanpa Dika. Meski harus diakuinya. Jika luka yang harus ia
tanggung begitu berat setiap menerima Dika kembali lalu tercerai oleh
pertengkaran lagi, mungkin itu memang jalan yang terbaik. Pikirnya!
“Tapi Alin, kamu maukan? Menjalani hidup tanpaku, tanpa Willy, Aji atau
siapapun. Siapa yang kamu raih untu menggantikan aku.” Alin menatap Dika lekat
“Aku tahu mereka hanya untuk memanas-manasi aku. Sama seperti aku
menghadirkan Rara ataupun Adnin di depanmu. Tapi ku harap, perpisahan kali ini,
tak ada lagi mereka di hati kita.”
Kkiiiiikkkk...! Jeritan gesekan antara ban dan aspal membuat mereka sedikit terpental
dari jok, lampu merah hampir saja diserobot Dika demi melihat reaksi Alin
mendengarkan kalimat barusan.
“Apa itu akan membawa kita kembali untuk saling mencintai?” Ucap Alin
setelah berhasil memperbaiki kembali posisi duduknya.
“Bukan saling mencintai, saling memiliki tepatnya. Aku tak pernah merasa
berhenti mencintaimu meski kita harus terpisah. Kamu juga begitu, bukan?”
Alin terdiam, menikmati kegalauan yang bermain dipikirannya. Bagaimana
pun dia tahu jawaban pertanyaan yang baru saja Dika lontarkan. Tapi berat
baginya untuk mengakui kejujuran itu.
Alin tak pernah meragukan kesetiaan Dika. Dan Dika tak akan pernah
mengingkari ketulusan Alin. Tapi persoalannya, dimata Alin. Dika itu cowok
egois hingga kedekatan dengan teman-teman teaternya dicemburui oleh Dika. Dan
Alin terlalu berlebihan dalam berteman terlalu banyak air mata, hingga hanya
ditegur sedikitpun dia harus menjawabnya dengan air mata. Demikian penilaian
Dika terhadap Alin.
“Alin, sekali lagi aku tak pernah berhenti mencintaimu, sungguh! Ada
kengerian yang teramat sangat disaat aku berfikir akan kehilangan kamu untuk
selamanya setiap aku melihat mu dengan cowok lain, kamu juga begitu, bukan?”
“Bawa mobilnya yang hati-hati, Dika!” Tegur Alin saat merasakan laju
mobil yang tidak biasanya.
“Kamu juga begitu, bukan?” Ulang Dika yang ditengah kegalauan menanti
jawaban dari Alin. Bola matanya lekat menatap Alin di sampingnya yang
masih memilih diam tanpa memperhatikan arus lalu lintas yang mengalir bersama
Jazz merahnya.
“Dika! Aku bilang hati-hati!” Teriak Alin keras.
Dika tersentak ketika sebuah ambulance memalang dari arah kanan di
persimpangan jalan, tanpa dia sadari.
Perasaannya, dia masih menginjak rem keras, seiring gerakannya
membanting stir. Dan dia pun masih mendengarkan teriakan Alin memanggil
namanya. Setelah itu dia tak bisa merasakan apa-apa lagi. Gelap merambat pekat
mengantarnya ke dalam gulita.
“Dika, kamu masih dengar aku bukan?” Bisik Alin diantara perih disekujur
tubuhnya. Diantara keping-keping Jazz yang kini mengantar Dika ke dalam gelap.
Alin mencoba meraih pergelangan Dika, meski sulit dia lakukan. Di
pergelangan itu masih di rasakannya detak-detak kehidupan meski perlahan.
“Jika selama ini kamu tak pernah berhenti mencintaiku. Akupun begitu,
Dika! Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.” Bisik hatinya saat dia merasa
bahwa berucap pun dia tak sanggup lagi.
Detak perlahan yang tadi dirasakan di pergelangan Dika kini diiringi
dengan gerakan meraih tangan Alin. Alin sangat bahagia merasakan itu.
“Dika, aku janji akan menerimamu kembali. Akupun takut kehilangan kamu.”
Lanjut hati Alin lirih.
“Dika, kamu gak apa-apa kan? Dika Saputra..!!” Suara Alin keluar
mendesah setelah menyadari apa yang terjadi pada Dika.
Pikiran Alin panik! Ada debaran keras yang tiba-tiba menggetarkan dadanya
saat dia tak lagi mendapatkan detak di pergelangan Dika. Alin tak bisa apa-apa.
Bahkan balik melihat wajah Dika pun tak sanggup. Dika masih tergimpit body Jazz
merah itu. Pergelangan itu kini tak berdetak lagi. Pergelangan itu kini dingin,
Alin bisa merasakan itu.
Kegelapan yang tadi menyelimuti Dika kini ikut merambat menjalari tubuh
Alin. Tak ada lagi detak di pergelangan Dika, tak ada lagi dingin. Semua tak
lagi Alin rasakan. Bahkan saat massa berusaha mengeluarkannya dari Jazz merah
itu tak lagi dia rasakan. Dika telah pergi dalam gelap. Alin pun begitu.. about.me/euisfaradila
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon